Bagi orang luar kota yang berkunjung ke Bandung, sepertinya tidak afdol jika pulang tidak membawa oleh-oleh makanan. Buah tangan itu banyak dijual di pasar, pertokoan atau tempat khusus penjualan oleh-oleh di seputar terminal bis. Bahkan, di tiap lokasi obyek wisata dan pusat perbelanjaan pakaian, selalu terselip toko atau kios—atau pedagang kaki lima—yang menjual oleh-oleh makanan.
Harga yang ditawarkan bervariasi. Kita pilih saja yang khas, yang tidak ada di kota-kota lain, dengan harga yang sesuai kemampuan dan kondisi kocek kita. Sebab, di Bandung banyak sekali pilihan. Ada yang kelas the have, menengah atau middle class dan ada juga yang tejangkau oleh kocek masyarakat bawah.
Bayangkan, di Bandung ada jenis oleh-oleh makanan yang enak, gurih, lezat dan sudah terbukti disukai pula oleh golongan menengah-atas, dengan harga yang murah-meriah. Cukup mengeluarkan uang Rp.20 ribu saja, kita bisa membawa pulang 5 bungkus chees-steek per-2 ons dengan rasa berbeda. Ada Sistik rasa kentang, tempe, keju, telor dan kelapa manis. Per Kgnya Rp. 35.000.-
Pandai-pandailah menawar harga. Maklum, makanan ringan yang bobotnya pun memang ringan ini, kebanyakan dijual di pasar tradisional, pedagang kaki lima di pusat pusat keramaian, terutama di wilayah Bandung Timur sampai Bandung Selatan seperti Soreang dan Majalaya. Konon, sistik yang diberi label “Delia” buatan home industry di Gang Ampera No.50 Jalan Asep Berlian Cicadas itu, disebarkan pula ke berbagai daerah oleh pedagang di Cianjur,Garut dan Tasikmalaya.
Terkenalnya sistik Delia, diakui oleh pemilik pabriknya, Suparman. Boleh jadi karena pernah mengikuti pameran makanan di Banjar dan sering menjadi bagian pada Pameran Pembangunan Provinsi Jawa Barat, di Lapangan Gasibu Bandung. Beberapa tahun terakhir, sistik Delia mengalami masa kejayaan yang ditandai banyaknya permintaan. Barang diproduksi besar-besaran dan selalu habis diborong orang.
Ketika itu, khususnya warga di kawasan Cicadas menjadikannya sebagai pilihan utama. Jika bepergian ke luar kota, entah mengunjungi keluarga, kerabat atau teman lama, pasti membawa oleh-oleh sistik Delia. Demikian halnya bila kedatangan tamu dari jauh, selalu menghadiahi tamunya beberapa bungkus untuk dibawa pulang. Tak berlebihan kalau ada yang berkata, sistik made in Cicadas ini sudah menjelajah ke Sumatra, Batam, Tanjungpinang, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Lain dulu lain sekarang. Dunia bisnis, apa pun macamnya, selalu digayuti situasi pasang-surut. Begitu juga sistik Delia. Kalau dulu produksi berton-ton habis laris dijual, tetapi sekarang untuk laku kwintalan pun perlu waktu berhari-hari. Ini, salah satu akibat naiknya harga bahan baku terigu, minyak goreng dan bumbu-bumbu sehingga produsen terpaksa menaikkan harga jual.
“Bayangkan saja, pada tahun 1997 harga terigu Rp. 25. 000 per-kilo, sekarang harganya Rp. 140. 000. Belum lagi harga minyak goreng yang terus-terusan naik. Situasi saat ini bikin repot para perajin makanan, termasuk saya. Untuk mengimbangi biaya produksi yang tinggi, saya terpaksa menaikkan harga jual. Tapi resikonya, ya…, seperti sekarang, omzet penjualan menurun drastis,” keluh Suparman.
Pria yang dikaruniai 4 putra-putri dan 4 cucu, ketika dijumpai di sela-sela kesibukannya di rumah produksi yang merangkap tempat tinggalnya, menuturkan keprihatinannya. Ia memberhentikan karyawannya akibat lesunya penjualan. Semula 10 orang tinggal 2 orang saja. Dua orang karyawan itu pun tidak dipekerjakan setiap hari. Sebab, untuk memasarkan produksi dengan bahan baku 3 karung (per-karung 25 kg), Suparman butuh waktu berhari-hari.
Kendati begitu, ia bertekad akan mempertahankan produksi makanannya, mengingat usaha yang dijalaninya itu sudah dirintis lebih dari 15 tahun dan merupakan warisan dari ayahnya, H. Daya. Ia tetap bersemangat dan terus berharap, suatu saat nanti usahanya akan pulih, mengeluarkan produk dengan jumlah banyak, kembali diburu pembeli, memiliki jaringan pemasaran yang tersebar di mana-mana seperti sebelumnya.
“Hidup mati saya di sistik. Saya akan berusaha bertahan. Meski harga bahan baku melonjak terus, saya harus tetap berproduksi dan harus pintar-pintar menjual. Karena saya menganggap situasi lesu seperti sekarang hal biasa bagi dunia usaha. Siapa tahu besok lusa kembali normal,” harap Suparman.
Leave a reply