Roti Bakar? Jajanan ini sangat populer. Rasanya yang legit dari bumbu gula pasir, mentega, susu kental, coklat meses dan selai-selai, menggugah selera siapa saja yang mencium aromanya dari pembakaran. Ini, karena keakrabannya dengan lidah masyarakat secara turun-temurun dan memang di negeri ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Itulah roti bakar.
Pepatah mengatakan, tak lapuk karena hujan dan tak lekang terkena panas. Kendati kini banyak sekali dijual jenis roti dan jajanan ex-import, roti bakar tetap diminati dan diburu konsumen untuk dijadikan kuliner malam atau sarapan pagi pengganti nasi. Masih besarnya selera masyarakat terhadap roti bakar, juga bisa dilihat dari kian marakknya pedagang roti bakar.
Apalagi di Kota Bandung, mudah sekali mendapatkannya. Sebab, di tiap deretan PKL (pedagang kaki lima) pasti ada penjual roti bakar yang mangkal atau sedang sibuk melayani pembeli dengan penuh gairah. Kegairahan mereka, tiada lain, terbersit karena animo konsumen yang tinggi untuk membeli makanan dagangannya. Ini berarti, berjualan roti bakar masih sangat menguntungkan!
Roti bakar Cicaheum yang legendaris Di depan Terminal Bis Cicaheum, tepatnya di Jalan A.Yani No. 929 Bandung, sebuah restoran sejak dulu menjagokan menu roti bakar. Namanya Rumah Makan Roti Bakar Cicaheum. Bagi warga di wilayah Bandung Timur sudah tidak asing lagi. Karena pada tahun 1970 sampai 1990-an, RB (baca: Roti Bakar) Cicaheum tempat berkumpul paling favorit bagi kalangan muda-mudi. Terlebih jika Sabtu malam, yang datang agak larut pasti harus antri agar kebagian tempat duduk.
Meski sekarang lebih banyak yang disediakan dengan menyajikan pula ayam bakar komplit, pempek Palembang, mie rebus, aneka jus dan minuman segar, RB Cicaheum tetap konsisten menomorsa-tukan roti bakar sebagai komoditas yang pertama ditawarkan kepada konsumen. Di luar roti bakar, kata pemilik rumah makan ini, Nia Agustin yang akrab disapa Kiki, itu sekadar pelengkap. Ini dimaksudkan agar tamu yang memesan roti untuk dibawa pulang, sambil menunggu selesai pembakaran, bisa menikmati dulu hidangan lain yang ada.
Ternyata, pertambahan usia rumah kuliner ini diiringi pula dengan peningkatan kreativitas produk, mutu pelayanan dan tata ruangan, sehingga sepintas pun RB Cicaheum terkesan sebagai penjual roti bakar yang inovatif. Meski keberadaannya tidak seperti kafe, gerai atau foodcourt waralaba perusahaan asing yang bertebaran di Kota Bandung, RB Cicaheum memiliki keunggulan dari segi pelayanan. Di sini, konsumen diperlakukan secara familiar dan boleh berekspe-rimen untuk membuat cita rasa yang diinginkan.
Macam-macam rasa memang tersedia di situ. Dari roti bakar rasa yang konvensional sampai yang sifatnya exhibition. Tergantung selera. Pembeli bisa memilih rasa yang baku dari daftar menu yang ada. Pembeli pun dipersilahkan mencampurkan sendiri bumbu-bumbu roti seperti selai kacang (pindekas), selai strawberry, selai nanas, selai blueberry, selai durian, selai apel, ceres, meses coklat, keju, kornet, gula, mentega, burger, sosis, susu kental, untuk mendapatkan rasa yang diinginkan. Malah, untuk ukuran pun tersedia banyak pilihan. Pembeli bisa memilih roti potongan (kadet) berukuran kecil, roti besar-sedang atau besar spesial, dengan harga yang tentunya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
“Saya dipacu oleh diri sendiri untuk terus kreatif, inovatif, supaya roti bakar nggak terlindas oleh zaman, nggak tersingkir oleh makanan-makanan modern yang sekarang makin banyak dijual. Masalahnya hidup saya sekeluarga, masa depan anak-anak saya dan 12 orang karyawan saya, bergantung dari roti bakar,” ucap Kiki ketika dijumpai di rumah makannya, belum lama ini.
Ibu dua anak kelahiran Bandung 35 tahun silam ini merasa bersyukur mewarisi usaha dari ayahnya, H. Aep Eppyana (almarhum), yang sudah 10 tahun dikelola Kiki dengan menyurahkan seluruh tenaga, pikiran dan waktunya untuk Rumah Makan RB Cicaheum. Rupanya, kerja keras putri sulung dari 5 bersaudara ini membuahkan hasil. Kemajuan usahanya bisa dilihat dari penjualan roti bakar yang setiap harinya rata-rata terjual 300 buah.
“Bahkan kalau hari Sabtu dan Ming-gu, weekend, bisa sampai 500 batang. Alhamdulillah, ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir ini. Insya Allah, mohon do’anya saja, saya akan buka cabang di Jalan Soekarno-Hatta,” tutur Kiki seraya menjamin roti yang dijualnya benar-benar aman, karena dibuat sendiri tanpa menggunakan bahan pengawet.
Bicara soal cabang di Jalan Soekarno-Hatta, depan kampus Universitas Islam Nusantara (Uninus), ia merencanakan untuk “napak tilas” bidang bisnis yang dirintis almarhum ayahnya ketika muda dulu. Membuka kedai ayam bakar di Jalan Merdeka, yang kini dilanjutkan oleh pamannya, Eno. Nanti, di rumah makannya yang baru, Kiki akan mengutamakan menjual ayam bakar Aep dengan roti bakar sebagai pelengkap. (
Leave a reply