• Menu
  • Menu

Pinisi dari Pesisir Pantai Indonesia Menuju Dunia

Indonesia yang kaya dengan 17.504 pulaunya memegang rekor negara dengan garis pantai terpanjang di dunia versi Guinnes Book of World Record. Sementara menurut PBB tahun 2008, Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang keempat di dunia. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 95.181 km. Bukan hanya itu dengan  pesisir yang panjang di salah satu pesisir bagian timur indonesia lahir sebuah warisan budaya leluhur, tradisi dan yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam diri masyarakat Konjo, Bugis-Makassar di Tanah Beru yaitu “Pinisi”. Dan tradisi ini masih berjalan sampai sekarang yang semakin menegaskan bahwa didaerah tersebut lahir para pelaut ulung yang pernah mengembara di berbagai belahan dunia.

https://pagguci.com/bulukumba-pusat-pembuatan-kapal-pinisi-di-sulawesi-selatan/pada awal tahun 2005 sekitar tujuh tahun yang lalu, karena tuntutan pekerjaan membuat saya dan rekan kantor ditugaskan mengitari pulau Muna dan Pulau Buton dengan menggunakan Perahu Pinisi, perahu bugis yang terkenal dengan designnya yang unik dan kuat. Awalnya saya berfikir perahu atau lebih tepat disebut kapal ini terlalu kuno untuk dipakai mengarungi laut banda, tetapi ketika masuk kedalam menjadi kagum juga melihat Phinisi yang dilengkapi dengan AC dan tempat tidur yang lumayan empuk, meja kerja, meja makan dan juga Kulkas yang tertata rapi.

Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara.

Pinisi Ratu Rima

Selain memiliki keindahan yang luar biasa, pada pantai di Indonesia banyak budaya dan kebiasaan yang kaya Kreatifitas dan menjadi bukti tingginya peradaban pelaut dan pengrajin di Semenanjung Nusantara seperti “Pinisi”.

Phinisi adalah perahu bertiang latar dua dengan tujuh buah layar, layar dua didepan, tiga diujung depan dan dua dibelakang. Pinisi banyak dikaitkan dengan kisah epik I La Lagaligo, konon kabarnya Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. ketika Sawerigading pulang kekampung halaman dengan menggunakan Kapal Pinisinya ke tanah Luwu. Saat memasuki perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.

Perahu jenis pinisi buatan tangan pengrajin Tanah Beru, desa Ara dan Lemo-Lemo ini mampu mengelilingi dunia, sebut saja ekspedisi Pinisi Nusantara ke Vancouver Kanada 1986 dan Pinisi Ammana Gappa yang mencapai Madagaskar pada 1991 dan masih banyak ekspedisi masa lalu Suku Bugis Makassar yang jejaknya tidak dapat kita rekam.

Phinisi (pic:wikipedia)

Dalam proses pembuatan Kapal Pinisi, para pengrajin pembuat kapal harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Yang biasanya jatuh pada hari ke lima dan ke tujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 atau dalam bahasa bugisnya “naparilimai dalle’na” yang artinya rezeki sudah di tangan dan angka 7 yang berarti selalu dapat rezeki “natujuangngi dalle’na”.

Setelah kayu didapat, proses peletakan lunas kapal dimulai, dengan meletakkan lunas menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita.

Ada 4 suku besar yang memiliki keahlian dan tradisi terhadap Pinisi ini yaitu Suku Konjo, Suku Mandar, Suku Bugis dan Suku Makassar. Ada dua jenis kapal pinisi

  1. Lamba atau lambo adalah Pinisi modern yang masih banyak dijumpai hingga sekarang dan juga dilengkapi dengan motor diesel.
  2. Palari adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung, mempunyai ukurannya lebih kecil dari jenis Lamda.

Kapal Phinisi dibangun dengan cara tradisional yang seksama dengan menggunakan kayu pilihan yaitu Kayu Besi atau Ulin dan Bangkirai. Karena desainnya yang unik dan kuat, maka banyak Turis asing melihat, menggunakan dan kagum, sehingga akhirnya membuat juga untuk kepentingan bisnis dan lain lain. Ada banyak Pinisi hasil buatan masyarakat Bontobahari, beberapa diantaranya saya sebutkan dibawah ini :

‘gaft-rigged Phinisi’ demikian mereka menyebutnya, sebagai Kapal tradisional Indonesia yang didesain dengan mewah untuk fasilitas menyelam atau Diving di lokasi wisata Maldives.

Kemudian The Silolona, yang mereka sebut sebagai perahu Pinisi tradisional Sulawesi yang awalnya digunakan dalam pelayaran dirute perdagangan masa lalu. Pinisi yang terbuat dari kayu buatan manusia ini dibuat pada tahun 2004 oleh masyarakat suku Konjo. Didesain sangat menarik dengan hiasan kerajinan tangan yang indah dan mereka anggap sebagai bukti sejarah keagungan pelaut masa lampau.

Yacht mewah dan tradisional EL ALPH ini dibuat oleh para panrita lopi ditanah Beru pada tahun 2009 dengan panjang 32,00m (104′ 11″). Sangat cocok dipakai berlayar di kepulauan Indonesia yang eksotis.

Pinisi mewah yang terkesan tradisional seperti ini biasanya di sewakan kepada pelancong yang ingin mengunjungi kepulauan Indonesia, Thailand, Burma dan Pulau pulau Andaman. Tak jarang juga disewakan kepada para penyelam yang tertarik melihat Terumbu Karang Indonesia yang sudah terkenal keindahannya itu.

Salah satu Yacht yang populer juga dan biasa sewa oleh para pelancong Eropa yaitu Yacht EL ALEPH yang dapat memberi akomodasi sampai 12 orang didalam 6 kabin yang mewah dan ber AC, sehingga tetap bisa merasakan kesejukan di siang hari.

EL ALEPH from charterworld.com

Malam itu bulan purnama, nampak cerah dan bundar sempurna tepat lurus diatas kepalaku. Pinisi “Ratu Rima” kami memasuki pesisir pulau Buton bagian selatan, dan sebentar lagi mendekati pelabuhan Kota Bau Bau tempat kami memulai perjalanan menuju utara hingga ke Kulisusu, perjalanan jauh merasai Ombak laut Banda. Dimalam hari kota Bau Bau nampak indah dipandang dari jauh, lampu lampu pesisir terpantul pada permukaan laut yang dangkal, seperti cermin yang memantulkan kembali cahaya lampu. Saat itu sempat juga terbersit keinginan suatu saat memiliki rumah yang luas di daerah pesisir. :)

Di geladak kapal saya duduk bersandar pada kursi malas sambil mendengarkan lantunan musik dan suara Bryan Adam yang serak namun berkarakter, dengan lagu yang berlirik sempurna dan juga berirama sempurna ditelingaku “Straight from the heart” kemudian “Summer 69″ dan seterusnya. Lalu saya berdiri dan mengalihkan pandangan keluar Kapal, beberapa menit kemudian muncul dua ekor lumba lumba dari belakang Pinisi kami, kemudian saya berteriak pada Kaptennya “ada Lumba lumba!” dia melihat keluar kemudian tersenyum. Hanya kami berdua diatas, dua orang teman dan kru lainnya ada dikamar masing masing menikmati tidurnya di lantai bawah. Untungnya malam itu Purnama, sehingga lumba-lumba itu jelas sekali kelihatan, berenang saling bersilangan kemudian saat mencapai ujung depan Pinisi kedua lumba-lumba itu berlompatan sehingga percikan airnya hampir mengenaiku. Sungguh pemandangan dan pengalaman yang tak ada duanya. Purnama, Lumba-Lumba dan Bryan Adams.. hehh.

Hingga suatu saat di bulan April 2010 ketika terkenang akan para sahabat di Kapal Pinisi Ratu Rima, membuat saya tergerak mengukir sebuah puisi yang saya persembahkan untuk semua Kru Pengendara Gelombang yang di Nakodai Daeng Baso itu.. 

Puisi Mengendarai Gelombang

Pernah ku membawa diri, 
menunggangi gelombang,
pada musim timur yang kurang bersahabat,
Angin menampakkan amarahnya
guntur menggelegar,
petir menyambar-nyambar.
lumba2 bersembunyi dari hantaman hujan yang membatu,

subuh itu di Selat banda,
Berlayar mengarungi samudera
membelah lautan yang senantiasa setia dalam perannya

Kadang rindu menatap mentari ketika mulai terbenam
teringat saat menyongsong sinar pagi dilautan nan cerah

Ibarat Joki, sang kapten menatap ujung perahu depannya.
dan Daeng Panrita Lopi selalu waspada dengan mata elangnya menatap dan menerawang seolah tahu dasar samudera.
Untuk Menunggangi gelombang yang liar dan kadang tak bersahabat..
Sungguh satu kolaborasi yang utuh.

Kami yakin pasti akan bertemu dengan Cahaya.
bagaimana menjinakkan gelombang itu yang perlu.
Kami mengendarai ombak menuju Cahaya…
Menguatkan hati tuk tetap tegar…
bahwa dia kan nampak di esok hari..

Sesampainya.
Dipagi yang tenang..
cahaya yang merona di lautan dan langit timur..

laut rata tak beriak, sesekali di ganggui lumba-lumba yang berjumpalitan di pinggiran kapal.

berarakan… muncul kemudian hilang kedalam samudra… begitu seterusnya hingga jauh (Erwin, 2010)

Tidak bisa dipungkiri bahwa demikian banyaknya orang asing membuat Pinisi di Tanah beru dan menyewakannya sebagai Yacht yang unik dan menarik, membuat Pinisi semakin dikenal di dunia, lalu bagaimana dengan kita sendiri, tidakkah kita tergerak untuk tetap melestarikannya? minimal mengabarkan dan memotivasi melalui tulisan, jangan sampai kita mengabaikan tradisi yang sebenarnya terbukti dapat menghasilkan perahu yang luarbiasa hebat, dan berharap semoga tidak punah atau tidak hanya tinggal sejarah saja bagi anak cucu kita.

Jika suatu ketika kita berjalan jalan diluar Negri dan berada pada satu pelabuhan, kemudian menemukan Yacht dengan desain asli Pinisi, maka kita bisa mengatakan dengan bangga “The origin of this from Indonesia!” (ini Asli dari Indonesia loh). Banggalah dengan menghargainya “memelihara warisan leluhur” sama halnya dengan kebanggaan kita terhadap naskah Epik terpanjang di dunia I La Galigo. Dengan adanya bukti peradaban tinggi masyarakat pesisir para Panrita Lopi ini maka saya berani mengatakan inilah yang patut diberi gelar “Pinisi Paling Indonesia !” .

Gungun Gunawan

Hallo Gungun Disini, Saya adalah Travel Blogger

View stories

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *