• Menu
  • Menu
Dalem Waturenggong

Dalem Waturenggong Raja Dengan Sejarah Panjang

Beribadah di bale gong yang berlantai keramik berarti tidak ada tempat untuk menancapkan dupa. Walhasil sela-sela lutut pun menjadi korban supaya dupa bisa berdiri. Peringatan-peringatan pada mereka yang duduk tepat di depan untuk tidak mundur agak tak tersundut dupa muncul di sana-sini, ditimpali seruan-seruan untuk lebih cepat lagi menyelesaikan persiapan sembahyang. Syukurlah, menurut pengumuman, Jro Mangku akan segera memulai persembahyangan.

“Sampun sami pulih sekar wyadin asep?” (Sudah semua mendapat bunga dan dupa?)

“Sampuuun…” (Sudah…)

Saya adalah salah satu yang menyeru paling sering. Habis, tak kuat duduk lama-lama!

Satu kata untuk persembahyangan di Pura Airlangga: panas, bagi kami yang masih kena sinar matahari. Ibarat kata sudah kering, dijemur sampai jadi lebih kering lagi. Pasir pantai yang menjadi lantai di pura ini tentunya terasa makin membara bagi orang-orang yang duduk di sana. Namun demikian, warnanya cukup cantik masuk ke mata, berpadu dengan putih baju sembahyang para peziarah. (Saya mencoba abai bahwa orang-orang di depan, kendati tidak dapat terik matahari, juga kepanasan).

Ketika mengedarkan pandang, papan di pelinggih kecil di samping gedong Airlangga membuat saya tertarik. Selain karena namanya, ukuran dua pelinggih ini seperti kontras dengan perbandingan yang menyeramkan. Padahal dari nama yang tertera di sana, yang ditempatkan di sini adalah raja terbesar Kerajaan Gelgel pada masanya.

Dalem Waturenggong

Tugu peringatan Dalem Waturenggong, berdampingan dengan pelinggih Prabu Airlangga. Namanya Dalem Waturenggong. Ia raja Bali ketiga dari kerajaan Gelgel yang memerintah sekitar abad ke-16 M, setelah ayahnya, Dalem Ketut Ngulesir (Dalem Gelgel). Raja inilah yang nantinya menurunkan generasi penguasa Bali sampai sekitar awal abad ke-20. Masa pemerintahannya terkenal sebagai masa keemasan Kerajaan Bali-Gelgel, setelah kejatuhan Kerajaan Bali-Samprangan di tangan kakek-kakeknya karena kekosongan pemerintahan.

Pada masa kekuasaannya, kebudayaan Hindu-Bali berkembang dengan begitu pesatnya. Bali membentuk suatu identitas yang berbeda dengan kebudayaan Hindu-Majapahit yang sirna seiring dengan berkembangnya kerajaan Demak di pesisir utara Jawa. Sebabnya karena Dalem Waturenggong, yang tadinya menjadi raja bawahan, melepaskan diri dari Jawa. Ia tidak ingin dimasuki pengaruh Islam yang sedang menyebar sampai ke pelosok di sana.

Masa pemerintahannya juga merupakan keemasan di bidang agama. Pada masa pemerintahannya, Danghyang Nirartha (beberapa teks menyebut Danghyang Dwijendra) datang dari Jawa Timur dan “memurnikan” ajaran Hindu di Bali. Sang purohita yang tak lain buyut dari Dalem Waturenggong ini menyempurnakan ajaran-ajaran dari pemuka agama sebelumnya (Panca Tirtha, lima empu yang meletakkan dasar Hindu-Buddha di Bali) dan meletakkan dasar-dasar keagamaan Hindu yang kontemporer. Ia menyelesaikan penyatuan sekte-sekte Siwa-Buddha dalam bentuk baru Hinduisme. Pada akhirnya, agama Hindu pun bertransformasi dan menemukan bentuknya yang baru: bentuk yang setidaknya masih bertahan sampai di detik saya menulis ini.

Asal-Usul Dalem Waturenggong

Sebagaimana yang telah saya jelaskan di postingan sebelum ini, tahun 1343 Gajah Mada melancarkan ekspansi ke Pulau Bali. Selain beberapa arya yang ditugaskan untuk mengepung Bali dari berbagai sisi, Gajah Mada juga ternyata membawa kerabat dari kerajaan Majapahit untuk menjadi raja di Bali. Kerabat kerajaan Majapahit yang dibawa ke Bali itu bernama Sri Kresna Kepakisan. Seorang sejarawan menyebut bahwa ia adalah cikal-bakal “paku-paku” yang ditancapkan di Bali dan bertahan sampai hari ini (pakis berarti paku).

Baca Juga:  Napak Tilas Sejarah di Museum House of Sampoerna

Sebagai seorang raja, gelar “Dalem” pun disematkan padanya (sampai saat ini gelar “Dalem” masih dipakai di keraton-keraton di Jawa). Dengan demikian nama lengkap beliau berubah menjadi: Dalem Sri Kresna Kepakisan. Dalem Sri Kresna Kepakisan inilah yang nantinya akan menurunkan Dalem Waturenggong sampai keturunan-keturunannya nanti (yang sekarang punya gelar alias kasta).

Saya belum akan menceritakan perjalanan cerita dari Dalem Sri Kresna Kepakisan ke bawah, karena itu menjelaskan sejarah Bali kini. Untuk postingan ini, cerita yang menarik justru dari Dalem Sri Kresna Kepakisan ke atas, atau silsilah beliau di Pulau Jawa, lantaran cerita tentang dinasti raja-raja di Bali akan menghubungkan mereka dengan Mpu Tantular, beserta Gajah Mada dan ekspedisinya.

Betul, Mpu Tantular pengarang Sutasoma.

Beberapa babad menjelaskan silsilah Dalem Sri Kresna Kepakisan sampai beberapa generasi ke atasnya. Meski sumbernya dari babad, persesuaiannya membuat saya bisa sedikit yakin. Dalam babad-babad tersebut dijelaskan bahwa Dalem Sri Kresna Kepakisan adalah putra dari Mpu Kepakisan, yang merupakan putra dari Danghyang Angsoka, seorang pendeta Buddha Mahayana (salah satu dari beberapa sebab kalau Hindu yang ada sekarang punya rasa Buddha sehingga dinamakan Siwa-Sogata). Mpu Kepakisan punya saudara bernama Danghyang Astapaka, yang keturunannya menurunkan Pedanda Buddha di Bali (dan Lombok) sampai hari ini.

Danghyang Angsoka sendiri, lebih lanjut, adalah putra dari Danghyang Asmaranatha. Ia (Danghyang Angsoka) memiliki satu saudara laki-laki yang tadi sudah saya jelaskan di atas. Dialah Danghyang Dwijendra, alias Danghyang Nirartha. Jadi bisa dibilang, Danghyang Dwijendra ini adalah kakek-paman dari Sri Kresna Kepakisan. Ini juga menjadi sebab Danghyang Nirartha langsung dijadikan purohita kerajaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong.

Lebih lanjut, karena kenabiannya, kisah hidup Danghyang Nirartha penuh dengan keajaiban. Umurnya yang sangat panjang pun dijelaskan sebagai sebuah mitos, kendati tentu memerlukan pembuktian yang lebih mendalam. Cerita lengkap perjalanan hidupnya dirangkum dalam beberapa babad, namun babad yang paling lengkap adalah Babad Dwijendra. Beberapa peninggalan Danghyang Nirartha bisa dilihat kini di Bali dan Lombok. Contohnya Pura Tanah Lot dan Pura Uluwatu.

Selanjutnya, Danghyang Asmaranatha sendiri bersaudara tiga orang, semuanya pendeta Siwa atau Buddha. Yang pertama adalah Danghyang Siddhimantra, ayah dari Manik Angkeran, yang menurut beberapa legenda bercampur mitos berkatnyalah Pulau Bali dan Pulau Jawa bisa terpisah. Yang kedua dan ketiga, berturut-turut adalah Danghyang Panawasikan dan Danghyang Kepakisan (namanya kebetulan sama). Bersama-sama dengan Danghyang Asmaranatha, mereka adalah empat bersaudara putra dari seorang pendeta besar di zaman Majapahit:

Danghyang Angsokanatha, alias Mpu Tantular.

Apabila penelusuran kita lanjutkan ke generasi di atasnya lagi, akan kita dapati bahwa ibu dari Mpu Tantular adalah putri dari seorang janda di Girah (Jirah), yang janda ini adalah seorang yang terkenal di bidang ilmu hitam dan sangat ditakuti pada masanya. Nama ibu dari Mpu Tantular adalah Ni Dyah Ratna Mangali, dan ayahnya bernama Mpu Bahula. Saya rasa saya tak perlu menyebutkan siapa janda ini; yang merupakan nenek Mpu Tantular dari pihak ibu:

Calonarang.

Genealogi Dalem Waturenggong dan Raja Bali, menurut beberapa babad.
Ada hal menarik yang bisa dianalisis di sini: yakni bagaimana Calonarang yang sangat khawatir tak ada orang yang akan mempersunting putrinya, kini bisa berbangga karena keturunannya justru abadi sampai akhir zaman. Yuk, kita simpan untuk tulisan berikutnya.

Baca Juga:  Nyari KafeTempat Ngopi Terbaik di Bali? Ini Dia Tempatnya

Cerita Mistis Dalem Waturenggong Pulau Menjangan

Mari sekarang kita bercerita sedikit klenik, tentang mitos yang ada di tempat ini terkait dengan pelinggih Dalem Waturenggong itu. Cerita ini saya dengar dari Bapak dan Ibu Mangku K, ketika mereka berdua sedang berdiskusi sambil menunggu para pemangku menyelesaikan tugas, tanda persembahyangan akan diakhiri.

Suatu hari, ada rombongan dari luar pulau Bali juga, sembahyang ke Pulau Menjangan. Mereka diberikan jangka waktu yang sama untuk menjelajahi seluruh pura. Namun, mungkin mereka tidak bisa mengatur waktu atau selalu terjebak persembahyangan kelompok lain. Pada akhirnya, mereka cuma sembahyang sampai di Pos Siwa Pasupati dan langsung menghentikan perjalanan, kembali ke Pelabuhan Lalang.

Baca juga: Pulau Menjangan #8: Jawaban Misteri Tamas dari Sang Perempuan Tangguh

Tapi perjalanan kembali itu tidak begitu mulus. Mendadak, begitu banyak orang kerawuhan. Kata Bu Mangku mereka yang kesurupan itu kebanyakan menangis dan meratap. Raos-nya (ucapannya), kenapa sudah jalan sejauh ini tapi tidak sembahyang di Pelinggih Dalem Waturenggong, padahal mereka sudah ditunggu oleh Ida Bhatara yang ada di sana. Kesempatan sembahyang di Dalem Waturenggong, menurut orang-orang yang kerawuhan itu, adalah kesempatan yang langka karena pelinggih Dalem ini hanya ada di sini dan tidak di tempat lain.

Walhasil, kata Bu Mangku, semua orang yang ada di rombongan itu kembali lagi ke Pulau Menjangan dan bersembahyang di sana sebelum kembali lagi ke daratan Bali.

Agak susah diterima akal sehat, memang. Tapi kalau saya ingat lagi, ini Bali, tanah yang wingit dan penuh akan hal-hal bersifat gaib. Ngomong-ngomong soal “seseorang yang menunggu saudara yang datang dari jauh”, hal tersebut sebenarnya kejadian juga di rombongan kami, di pura gua seluas lapangan sepak bola. Satu yang pasti, bukan cuma kami yang semangat mengantisipasi sebuah perjalanan suci. Ada banyak kekuatan yang lebih dari bersedia untuk menyambut dan menyamakan energinya dengan kami yang sedang beribadah. Maka saya tidak bertanya, apalagi mempertanyakan informasi itu lebih jauh.

Saya menunggu beberapa lama sampai akhirnya semua prosesi persembahyangan selesai diakhiri. Masih berpanas-panas serta kesilauan, kami bangkit dari tempat duduk. Sayup kami mulai mendengar deburan ombak mengaduk batu karang yang ada di bawah sana, dan mungkin ketika suara itu singgah di telinga kami, kami tersadar. Tidak ada yang membawa topik ini ke permukaan, tapi semua orang tampak bersemangat. Saya pun begitu. Bagaimana tidak, pura selanjutnya akan menjadi pura terakhir!

Tapi kini jam berapa? Saya memberanikan diri menoleh ke belakang dan menganga. Kami masih punya satu jam?

“Pak, itu jam dindingnya betulan, Pak? Satu jam?”

Bapak melihat jam tangannya. Ia menatapnya heran juga, kemudian langsung berucap syukur. Apa yang ditunjukkan jam tangannya tak berbeda dengan apa yang diperlihatkan jam dinding.

Oh, itu artinya kami punya satu jam penuh untuk pura terakhir!

Paguci

Travel Information | Adventure - panduan perjalanan dan wisata di indonesia, itinerary, info tiket, info hotel, cerita perjalanan, tips traveling, inpirasi liburan dan berita wisata terkini.

View stories

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *