Setiap baca buku sejarah, saya sering iri dengan para pelayar yang menemukan tanah asing. Terbayang betapa gemuruhnya harapan nenek moyang saat menemukan ‘rumah’ baru, berlomba menggambarkan peta yang paling akurat.
Walhasil, setiap menelusuri tempat baru, saya jadi membayangkan siapa yang pertama kali menjejakkan kaki di sana. Termasuk saat berkunjung ke Australia, saya juga menerka bagaimana para imigran Eropa saat menjelajah ‘tanah asing di Selatan’. Apakah mereka takjub menyaksikan dedaunan gugur pada awal tahun, lebih cepat daripada di negeri mereka?
Saat sibuk menerka-nerka kejadian lampau di antara embusan angin sejuk di kota Melbourne, saya terpaku pada sebuah peringatan di selebaran: Diwajibkan puasa sehari sebelum mengikuti Queenie’s Food Tour.
Baiklah, mari pura-pura menjadi pelayar, tetapi bukan mencari pulau, melainkan berburu kue lezat di South Yarra, sekitar 4 km dari pusat kota Melbourne.
Perburuan kue dipandu oleh Andrew Prior, finalis Masterchef Australia 2013. Sambil berjalan-jalan menikmati udara pagi musim semi, ia menceritakan sepak terjangnya saat audisi Masterchef, “Saya hanya koki rumahan yang memendam hasrat pada makanan. Saat bergabung dengan Masterchef, saya berharap bisa memberikan banyak kesempatan baru. Dan ternyata benar!”
Andrew membelokkan langkahnya ke sebuah kafe mungil di Toorak Road bernama LuxBites. Ia mengajak saya mengintip dapur dan berkenalan dengan sang kreator LuxBites; Bernard Chu. Reputasi Bernard meroket saat dia berhasil menjawab tantangan produser MasterChef untuk membuat kue yang menggabungkan 6 cita rasa klasik loli khas Australia; daun mint, pisang, jaffa (aroma cokelat-jeruk), red skins, freckles, dan musk sticks.
Bernard juga berbesar hati membocorkan rahasia resep kue saat kami merecoki dapurnya; contohnya ia punya pengganti daun spearmint yang sering menggumpal kala panas, yaitu krim yang terbuat dari minyak kayu putih. Wah, minyak tubuh favorit saya dijadiin kue!
Andrew memamerkan kepada saya kue buatan Bernard yang menjadi favoritnya Be My Love, berbahan mousse susu cokelat, krim rasberi, remah dark chocolate, chocolate glaze, rasberi kering yang dibekukan. Saat mencicipi, saya menemukan seribu alasan kenapa Be My Love layak jadi favorit. Kue ini adalah pembuktian kalau cokelat dan rasberi itu pasangan lezat. Kenikmatan cokelat disempunakan manisnya rasberi.
Mengikuti Andrew Prior menjelajah French Fantasies
Belum lepas dari rasa Be My Love yang menjajah lidah, Andrew mengajak saya berpamitan dengan Bernard untuk menjelajahi toko berikutnya yang masih berada di wilayah yang sama—Toorak Road nomor 15: French Fantasies. Tiba di sana, saya mendapati beberapa kursi di trotoar telah dipenuhi manusia penggemar sarapan.
Begitu masuk ruangan, aroma roti menguar. “Selayaknya orang Prancis, kami membuat roti begitu serius,” kelakar salah seorang pegawai French Fantasies sambil menawari kami berbagai kudapan nikmat. French Fantasies memang terkenal dengan kerenyahan croissant dan kelezatan Crique-Monsieur yang membuat saya sejenak lupa bila sedang berada di Melbourne.
Kami melanjutkan jalan pagi menuju Claremont Street yang diseraki daun mapple. Dedaunan kuning kemerahan beterbangan di antara tubuh, seakan turut mengantar kami ke sebuah kafe bertuliskan Zumbo.
Adriano Zumbo adalah seorang patissier yang terkenal dengan kreasi gilanya seperti: croquembouche tower; bola-bola sus tersusun dalam bentuk kerucut dan terikat benang dari saus karamel), V8 cake; kue yang mempunyai delapan lapisan vanilla lezat: vanilla macaron, vanilla chantilly, toasted vanilla brulee, vanilla water gel, vanilla almond crunch, vanilla dacquoise, vanilla glaze, vanilla ganache, dan fairytale gingerbread house.
Tapi di antara semua kue istimewa itu, ada sebuah kue ‘biasa’ yang merampas pandangan: carrot cake. Setiap melihat sesuatu yang berhubungan dengan wortel, saya teringat masa kecil. Dulu Ibu gemar menyambut saya selepas pulang sekolah dengan semangkuk sayur sup yang penuh potongan wortel.
“Apa makanan tak terlupakan masa kecil Anda, Andrew?” Tanya saya sebelum tenggelam dalam kenangan.
“Daging domba panggang buatan nenek dengan kacang-kacangan yang ia tanam di halaman belakang rumah,” jawabnya tanpa berpikir panjang.
Wah, sejenak saya rasakan kehangatan masakan dan senyum seorang nenek yang ingin membahagiakan cucu.
“Ada makanan yang Anda benci gak, sih?” Saya bertanya lagi.
“Saya akan mencoba semua makanan setidaknya sekali saja, kecuali makanan yang melibatkan hewan-hewan yang tidak diperlakukan layak.”
“Ada tidak makanan yang saking nikmatnya harusnya diharamkan?”
“Cokelat & custard!”
Waduh, apalagi custard berlumuran cokelat meleleh ya, membayangkannya saja membuat saya menelan air liur!
Perburuan kami lanjutkan sembari menembus angin yang kian dingin.
Andrew melambatkan langkah di Chapel Street, membelok ke Burch and Purchese.
Burch and Purchese |
Memasuki toko ini membuat tangan gatal sekaligus waswas. Gimana gak gatal, bawaannya ingin mencomot berbagai dekorasi dinding yang terbuat dari cokelat. Gimana pula gak waswas, takut gak sengaja menyenggol toples-toples selai aneka rasa.
Di antara jejeran toples itu, saya membawa pulang salted caramel, sudah terbayang akan mengoleskannya pada setangkup roti gandum, memakannya bersama secangkir kopi panas.
Sang pemilik, Darren Purchese ikut melayani kami. Melihat dari beberapa pajangan foto di dapur, ia rupanya juga sering tampil di berbagai episode acara memasak TV Australia. Astaga, rupanya pagi ini aku bertemu para koki tersohor!
Menyaksikan binar mata para koki andal saat membicarakan pekerjaannya, mereka sangat menikmati perjalanannya di roda impian. Siapa yang tidak ingin tergila-gila dengan pekerjaannya sendiri?
Kalau orang Prancis bilang; A La Foile! Sebuah ekspresi yang menyatakan kegilaan dalam rasa jatuh cinta. Mabuk cinta. Cinta mati. Seperti kecintaan Mercédé Coubard—pemilik kafe berikutnya yang kami tandangi, pada berbagai kreasi penganan dan kue ala Prancis.
A La Foile terletak di 589 Chapel Street, menyajikan aneka ragam macaron & petits choux. Mercédé Coubard menyuguhkan berbagai macaron warna warni sambil berseri-seri. Ia menceritakan sepak terjangnya membuka usaha A La Foile, dari sekadar bikin kue yang disukai keluarga, sampai akhirnya nekat berjualan.
Mercédé semakin semangat berjualan, saat tokonya didatangi pesohor yang begitu ia kagumi, “Michael Bublé sudah datang dua kali ke sini, terakhir kemarin sore!” Mata Mercédé terbelalak ceria saat mengucapkan nama idolanya, sedangkan saya diam-diam mengawasi pintu masuk; siap siaga minta tandatangan kalau Bublédatang lagi.
“Saya masih ingat saat pertama kali menjalankan bisnis ini, entah berapa lusin macaron terpaksa saya buang karena rasanya tidak sesuai ekspektasi,” Mercédé menawari kami macaron pistachio yang terbuat dari kacang premium dari Iran. Rasa kacangnya begitu gurih, berbaur lembut dengan krim manis.
Lidah belum selesai melumat renyah-lembut dan ledakan rasa krimnya, jemari sudah asyik mengambil varian matcha & redcurrant. Mercédé lihai sekali membaurkan aneka rasa yang saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan! Seperti dua diva yang saling memberi sinar di atas panggung, bukan saling mendominasi ingin kilau sendirian.
“Masih siap dengan serbuan cokelat istimewa?” Goda Andrew sambil memakai sweaternya, pertanda saatnya kembali hijrah. Saya tentu saja mengangguk!
Saya digiring ke sebuah kafe yang beraroma semerbak kebahagiaan; Gànache Chocolate di 250 Toorak Road. Aroma cokelat yang menyeruak di setiap langkah menghipnotis saya. Saya seperti kucing-kucing kelaparan dalam film kartun yang terhuyung menuju dapur!
Aneka macaron yang tak hanya kaya warna tapi juga kaya rasa |
Begitu sampai di dapur, seorang lelaki berseri-seri menyambut kami, “Ada yang mau bola cokelat?”
Di samping dapur beberapa orang sedang asyik dengan adonan cokelatnya masing-masing. Ternyata mereka juga membuka sekolah cokelat! Ya ampun, kalau ada program beasiswanya, saya pasti daftar dan kemungkinan besar ditolak karena saya akan menghabiskan sepanci cokelat cair itu!
Tak hanya kue cokelat, kami disuguhi berbagai minuman dan hidangan-hidangan gurih lezat, seperti croque monsieur. Berhubung dari pagi kami dicekoki yang manis-manis, kenikmatan croque monsieur menjadi berkali lipat.
Andrew juga terlihat sangat menikmati croque monsieur, jangan-jangan karena ini memang perjamuan terakhir pada rangkaian perburuan ini. Tapi rasa penasaran saya belum berakhir!
“Kenapa Melbourne adalah kota yang pas untuk berburu kuliner?”
“Beragam pilihan kuliner yang ditawarkan Melbourne merupakan perpaduan dari kekayaan budaya dan harga yang terjangkau. Ini tentunya menjadi sesuatu yang fantastis untuk pencinta makanan macam saya.”
“Dan juga saya!” Timpal saya cengengesan, “Kalau Anda cuma boleh makan satu kue seumur hidup, mau pilih kue apa?”
“Lolli Cake dari LuxBites! Cuma Bernard yang bisa membuatnya lebih enak daripada buatan saya sendiri.”
“Pasti ada bahan rahasia lainnya yang ia tidak bagikan,” ujar saya sambil terkekeh. “Seandainya Melbourne adalah kue, apa namanya dan kenapa?”
“Pertanyaan bagus! Melbourne adalah Opera Cake, karena punya banyak lapisan lezat di setiap gigitan. Sekarang giliran saya yang bertanya: apa yang paling kamu sukai dari Melbourne?”
Menjalankan roda impian dari Paris ke Melbourne
Saya menyesap espresso, diam-diam meringkas cepat segala hal yang menarik sejak pertama kali menjejakkan kaki di Melbourne.
“Saya suka bagaimana para Melbournians benar-benar menikmati apa yang mereka punya dan apa yang mereka lakukan. Kota ini semakin terasa berenergi oleh hasrat menggelegar para warganya.”
Saya tidak beromong kosong. Ada letupan gairah yang ingin saya rebut saat mereka melukis dinding, memasak kopi, mengendarai segway di perkebunan anggur, dan tentu saja yang melimpahkan hasrat berkreasi memasak kue.
Seiring dengan sesapan kopi terakhir, saya seraya diingatkan angan, ternyata tak perlu jadi pelayar untuk bergemuruh dalam perburuan, tak perlu menemukan pulau-pulau asing untuk menunaikan harapan. Selalu ada yang layak dijelajahi pada setiap zaman.
Ah, travel never felt so good and the cakes never tasted so yammo!
Oleh: Valiant Budi
Leave a reply